Batavia

Peta_JakartaDuapuluh lima kilometer ke timur Jalan Raya Pos sampai ke Batavia, kota yang dibangun Jan Pietersz Coen. Pada mulanya Batavia adalah benteng yang dibangunnya dan diresmikan pada 30 Maret 1619 untuk kemudian menghapus lagi nama tersebut. Tidak lebih dari 2 bulan kemudian, pada 30 Mei 1619 Kompeni Belanda di bawah Coen menyerbu istana Adipati Jayakarta dan diberitakan dengan kerugian hanya seorang serdadu tewas. Dengan demikian, berdasarkan hukum perang, Jayakarta menjadi milik Kompeni Belanda. Dalam perkembangannya kemudian Batavia menjadi ibukota kerajaan dunia Belanda di Asia dan Afrika, mengakhiri pelayaran liar (wilde vaart) Kompeni, karena sekarang telah ada tujuan yang pasti. Yang dinamai Batavia semasa Coen adalah Jakarta Kota dewasa ini, yakni Kodya Jakarta Utara tanpa Kepulauan Seribu.

Kota Batavia dibangun menurut pola kota Belanda dengan sejumlah kanal, jalan raya, dan gedung. Tenaga kerja diambil dari tawanan perang dan budak belian, dan orangorang Tionghoa yang diculiki dari pantai selatan Tiongkok. Orang-orang Tionghoa inilah yang kemudian dengan jiwanya yang lebih mandiri dan merdeka serta kerajinannya yang luarbiasa berhasil meninggalkan statusnya sebagai pekerjapaksa menjadi pengusaha dan pedagang, menguasai sektor ekonomi masyarakat Batavia. Kompeni Belanda sendiri merasa iri dan jengkel terhadap keberhasilan mereka.

Sejumlah bangunan megah Kompeni Belanda masih tersisa sampai sekarang. Dalam satu tahun setelah menguasai Javakarta, Coen telah mendatangkan 800 orang Tionghoa untuk usaha pembangunannya. Dengan berhasilnya Belanda menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, yang berarti juga berhasil membuatnya jadi bandar internasional dan bandar pengumpul komoditi, pada perpindahan pedagang-pedagang dari pelabuhan-pelabuhan kecil ke sini, terutama para pedagang pengumpul Tionghoa.

Untuk keamanan Batavia, Coen membangun 4 benteng, masing-masing dinamai dengan nama-nama batu mulia. Maka penduduk menamai empat serangkai benteng kota tersebut: Kota Intan. Di selatannya, Coen membangun daerah pemukiman. Ia bercita-cita membangun koloni Belanda dan hendak mendatangkan wanita-wanita Belanda untuk jadi isteri para serdadu dan pejabat Kompeni. Pihak Kompeni Belanda di Belanda menolak gagasan ini. Maka kota yang dibangunnya diisinya dengan imigran sukarela, terutama orang Tionghoa.

Kompeni Belanda sudah sejak lahirnya adalah sebuah usaha dagang. Langkah Coen menguasai Jakarta membuat Kompeni Belanda terlibat dalam usaha menguasai wilayah secara permanen. Dari sini muncul polemik sepanjang sejarah Kompeni Belanda atau VOC: apa yang penting untuk Kompeni? Berdagang atau berkuasa? Memang VOC lebih mudah mendapatkan keuntungan melalui perdagangan. Tapi berdagang saja tidak mungkin. Pertama karena raja-raja Pribumi, yang tak pernah melihat berkembangnya golongan menengah, belum mengerti makna perjanjian dagang. Mereka mendasarkan segalanya pada kekuasaan pribadi sebagai raja semata. Berdasarkan konsep kekuasaan, seseorang bisa menjadi raja karena memang dikodratkan menjadi raja timbullah anggapan, kekuasaan berasal juga dari kodratullah; jadi bebas dari tindak salah atau berdosa. Dalam persaingan internasional untuk mendapatkan komoditi antara Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis, yang berkembang jadi perebutan kekuasaan atas jalan pelayaran internasional, mudah dimengerti bila para raja Pribumi yang tidak mengenal aturan-aturan perdagangan mudah terbujuk untuk mengingkari perjanjian dan berupaya mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dari persaingan di antara empat bangsa Eropa tersebut. Untuk menyelamatkan kepentingan dagangnya, semua Kompeni asing tersebut memerlukan kekuatan militer dengan benteng-benteng setempat. Akibat kelanjutannya adalah penguasaan wilayah dan: penjajahan atas bangsa-bangsa produsen komoditi. Dengan kekuatan militer yang nisbiah sangat kecil, bangsa-bangsa Eropa dapat mengalahkan tentara kerajaan-kerajaan Pribumi yang tidak profesional. Dalam abad-abad selanjutnya dunia non-Eropa praktis telah terjajah oleh bangsa-bangsa Eropa. Dana dan daya dunia non-Eropa tersedot tanpa henti untuk kekayaan, kemakmuran, kekuatan, dan kemajuan Eropa.

Perang Dunia II mengakhiri perebutan jajahan atas bangsa-bangsa non-Eropa. Dan dengan usainya Perang Dingin yang memperebutkan keunggulan sistim politik dan ideologi, pada menjelang akhir abad 20, Eropa-kemudian meluas menjadi Barat-melakukan penjajahan baru atas bangsabangsa non-Eropa, non-Barat, melalui neo-kolonialisme: negara-negara non-Barat tetap diperlakukan sebagai perdagangannva, dan kekuasaan setempat diperlakukan sebagai satpam semata untuk menjaga kepentingan pasar mereka. Dan penduduk yang kini juga dinamai Dunia Selatan atau Dunia Ketiga, diperlakukan sebagai konsumen semata. Dunia

Barat yang telah dibikin kaya, kuat, dan maju oleh Dunia Selatan tetap memegang kendali dunia. Dan dengan kekayaan, kekuatan, dan kemajuannya, mereka menjerat kurbannya dengan hutang luar negeri dan diharapkan sampai dunia kiamat, mungkin juga sampai setelah itu, di akhirat.

Penguasaan Coen atas Jayakarta, pendirian Batavia sampai dengan pembangunan Jalan Raya Pos, tak lain dari sarana babak sejarah ummat manusia Dunia Selatan sekarang untuk menjadi ladang dan tambang kemakmuran Dunia Utara. Nampaknya pembangunan Batavia yang menggunakan tenaga kerjapaksa multi-rasial tawanan perang bangsa-bangsa Asia dan multi-etnis tawanan perang dari Nusantara sendiri, merupakan prototip dari apa yang bakal terjadi selanjutnya dalam abad-abad kemudian. Dalam abad 18 Batavia sudah mendapat julukan “Ratu Timur” karena kemegahan gedung-gedungnya, kemakmuran penduduknya termasuk para budak-beliannya, dan jaringan perdagangan internasionalnya yang maha luas, dengan dukungan keperkasaannya di lautan. Tetapi dekat sebelum Daendels merombak tata-kekuasaan dan sub-sub sektornya, di Jawa terutama, korupsi yang terjadi dari persekongkolan antara pejabat Eropa dan kaum feodal Pribumi telah membuat keropos kejayaan kolonial. Korupsi memang tindak kejahatan menurut hukum pidana Eropa. Celakanya tidak demikian bagi para penguasa Pribumi. Setiap orang dalam tata-susun feodal Pribumi yang vertikal itu merasa berhak mendapatkan upeti dari bawahannya, jadi bukan suatu kejahatan. Celakanya ada dari kalangan rakyat jelata yang merasa bersyukur bila dapat mempersembahkan upeti sampai di luar kemampuannya kepada para pembesarnya sendiri. Abdullah bin Muhammad A1-Missri, pengarang dalam bahasa Melayu, menulis memoar tentang semasa Daendels pada kurang lebih 1815, bahwa semua kekayaan dari bumi Jawa: “Harus sampai ke negeri Belanda, karena memang begitu, si opas menipu pegawai pelabuhan, yang menipu jurutulis kantor, yang menipu petor, dan petor menipu anggota Dewan Hindia, yang menipu Gubernur Jenderal, Gubernur Jenderal menipu majikannya Raja Belanda.” Pengarang berbahasa Melayu tulisan Arab tersebut memang cuma meledek korupsi yang terjadi sejak opas kantor sampai pada Gubernur Jenderal, korps pejabat Pribumi dan Eropa bersama-sama. Semua yang dikorup tak lain daripada dana dan daya rakyat kecil, petani. Dan betapa terkejutnya Inggris waktu mendarat di Jawa setelah kepergian Daendels pada 1809, bahwa petani Jawa hanya dapat menikmati seperempatbelas dari hasil panennya. Tiga belas perempatbelas adalah untuk membiayai tata-susun feodal Pribumi sendiri, kekuasaan kolonial, dan kemakmuran serta kesejahteraan Belanda, Eropa. Dari sisa yang seperempatbelas itu untuk kepentingan pribadi dan keluarganya masih harus membayar mahal pada para pemegang pah (pacht, pemborong-monopol) pasar, pejagalan, madat-bila si petani penghisap madat-dan sejumlah pah lain, termasuk jembatan-jembatan tertentu. Biasanya pemegang pah adalah orang Tionghoa, yang memperolehnya dari Kompeni melalui lelang. Dari Raja Belanda sampai Dewan Hindia dan Gubernur Jenderal, Residen dan birokrasinya, upati sampai pamong desa terendah, semua hidup dari penghasilan petani. Jadi, bagaimana petani Jawa bisa hidup? Orang Inggris menjawab sendiri: karena kesuburan tanahnya. Justru karena itu petani sebagai lapisan terbawah masyarakat tidak boleh menjadi bebas. Lebih buruk lagi setiap saat mereka terbuka terhadap pembunuhan. Dalam sastra babad Pribumi pembunuhan yang terjadi atas klas feodal besar kesempatan tercatat di dalamnya. Tetapi pembunuhan terhadap lapisan bawah masyarakat tidak pernah tercatat nama mereka. Penindasan struktural atas masyarakat rendahan ini membikin para petani Jawa pasrah, apatis, tanpa pelindung. Bahkan untuk keselamatan mereka sendiri mereka harus membentuk sistim kepolisannya sendiri, yang dibiayai dan dilaksanakan oleh mereka sendiri.

Bukan suatu kebetulan bila dalam salah satu pidatonya Bung Karno pernah menyatakan bahwa (kurang-lebih): petani kita belum pernah merdeka. Sayang tak kuingat lagi kapan dan di mana kata-kata tersebut diucapkan atau dituliskan. Pengamat Barat malah tak segan-segan menilai petani Jawa sebagai indolen.

Batavia berpenduduk multi-rasial dan multi-etnis sejak didirikan oleh Coen. Para tawanan perang tinggal di kamp-kamp tawanan yang terbagi menurut ras atau etniknya seperti: Kampung Bali, Kampung Jawa, Kampung Ambon, Kampung Bandan (mestinya: Banda), Kampung Arab, Kampung Koja, Kampung Melayu, Kampung Bugis. Sebagian budak-budak India yang dibebaskan Kompeni dinamai Mardijkers, sedang orang-orang Tionghoa ada yang berhasil menebus kebebasannya dan membangun Kampung Cina sendiri yang lebih terkenal dengan nama Pecinan. Kata kamp ini kemudian diserap dalam bahasa Melayu/Indonesia menjadi kampung.

Pergaulan antar-ras dan antar-etnik melahirkan lingua franca Melayu-Betawi, juga apa yang kelak dinamai seni dan budaya Betawi yang mempunyai kecenderungan Tionghoa, terutama di bidang musik dan tari.

Waktu Batavia diserang oleh tentara Mataram pada 1628 dan 1629, budak-budak dan tawanan perang yang ikut membela Belanda mendapatkan pembebasan karena kesetiaannya. Walaupun dalam tentara Kompeni Belanda terdapat tak kurang-kurangnya serdadu Jepang bayaran, yang terkenal ganas dengan pedang samurainya tak pernah jelas apakah mereka kemudian jadi penetap di Batavia.

Baik, kita tinggalkan dulu Batavia dan kembali pada Daendels, yang diagungkan sebagai pembangun Jalan Raya Pos alias Jalan Daendels. Dialah yang memperluas Batavia lebih ke pedalaman. Waktu itu Batavia, yang terkepung oleh rawa-rawa pantai sangat tidak sehat. Dalam pembangunan tahap pertama semasa Coen tidak kurang dari sepertiga pekerja dari berbagai bangsa dan etnis tewas tersapu malaria. Untuk membuat Batavia menjadi sehat Daendels memerintahkan menghancurkan benteng-benteng Kota Intan agar kota mendapatkan hawa lebih segar. Perluasan ke selatan menggunakan wilayah Gambir, yang oleh Belanda dinamai Weltevreden. Ia membangun istana baru di seberang timur lapangan Banteng (terjemahan dari nama Belanda: Buffelveld) dengan kandang-kandang untuk kereta dan kudanya. Kandang ini sejak dasawarsa pertama abad 20 dipergunakan untuk tempat pencetakan dan penerbitan Volkslectuur, yang lebih terkenal kemudian dengan nama Balai Pustaka.

Untuk menangkal serbuan Inggris tanpa benteng kota, ia pusatkan pertahanannya lebih ke selatan Weltevreden, ke Meester Cornelis, yang untuk waktu lama oleh penduduk Batavia disebut Mester, kemudian dinamaiJatinegara. Artinya bahwa jalan-jalan di Batavia semasa Daendels telah memenuhi syarat untuk pengangkutan militer dari Meester Cornelis sampai ke pelabuhan Sunda Kelapa. Dengan terpusatnya militer di selatan Weltevreden, pembangunan besar-besaran pun mengikuti.

Sebagai seorang Napoleon Kecil barang tentu ia juga membawa mutiara Revolusi Prancis Liberte, Egalite, Fraternite (Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan). Nyatanya tidak demikian. Tak ada kebebasan, persamaan, dan persaudaraan disebarkannya di Jawa. Kalau ada sepercik kebebasan yang diberikan, hal itu hanya sebatas kebebasan beragarna. Dan itu pun hanya mengenai agama orang Eropa, dan di sini berarti Katholik. Sebelum Daendels, ummat Katholik memang menghadapi banyak kesulitan dari pihak Kompeni Belanda. Soalnya Belanda yang Protestan pernah melancarkan perang 80 tahun untuk membebaskan diri dari penjajahan Spanyol yang Katholik. Perang laut antara Belanda dan Spanyol dan Portugis adalah buntut perang 80 tahun. Mudah untuk mengerti, mengapa Coen menindas ummat Katholik di Maluku, dan hanya memberikan beras kepada ummat Katholik yang taubat pada Protestan. Jadi kebebasan beragama yang diberikan Daendels di Jawa tak lebih artinya daripada pengakuan pada kehadiran Katholik. Bagaimana pun terbatasnya pekerjaan reform di bidang keagamaan ini bukan tidak penting.

Dalam masa pemerintahannya, Weltevreden ia sulap menjadi pemukiman, perkantoran sipil, maupun militer yang mempesonakan. Dan waktu ia meninggalkan Jawa, istana yang dibangunnya belum sepenuhnya selesai pemasangan atapnya. Sebagai bukti bahwa ia telah menularkan mutiara Revolusi Prancis, ia bangun gedung gereja Katholik yang besar, megah, menjulang tinggi, menurut tradisi Katholik Eropa.

Nama Batavia hapus dari peta sejarah pada bulan-bulan pertama pendaratan balatentara Jepang. Melalui keputusan pemerintah pendudukan Jepang, nama itu diubah menjadi Jakarta sesuai dengan keinginan kaum nasionalis. Semasa dasawarsa terakhir pemerintah kolonial, nama itu pun sudah dipergunakan secara sporadis oleh kaum nasionalis, tetapi yang paling gigih dan paling lama menggunakannya adalah lembaga pendidikan nasional Taman Siswa dan para lulusannya.

Dalam bulan Juni atau Juli 1942 setelah diperintahkan meninggalkan rumah keluarga, aku mulai tinggal di Jakarta. Sebagian besar hidupku pun kulewatkan di sini. Waktu datang untuk pertama kali aku terkesan pada keanggunan, kebersihan, dan keteraturan sisa-sisa kehidupan kolonial ibukota Negara Hindia ini. Rasanya jauh lebih beradab dari Surabaya. Tiga setengah tahun masa pendudukan militeris Jepang, Jakarta tak terurus lagi kebersihannya. Aspal jalanannya pada terkelupas. Tak jarang bagian-bagian yang hancur karena sudah tak mampu lagi menanggung beban truk, tank, dan panser Jepang membuat susunan batunya porak-poranda. Jalur kiri-kanan badan jalan ditumbuhi ilalang berdebu yang cukup rapat dan tinggi. Dan pada bnlan-bulan terakhir pendudukannya, tidak jarang pejalan kaki terhadang oleh mayat orang kelaparan, tanpa ada pertolongan oleh siapa pun dan dengan apa pun. Setiap orang terancam oleh nasib yang sama.

Jakarta sebagai kota Proklamasi mengalami kebangkitan dari kelesuan pendudukan Jepang pada Agustus 1945. Di luar dugaan penduduk yang kelaparan dan hanya memiliki sisa terakhir kekuatannya bersorak menyambut kemerdekaan nasionalnya sendiri. Sejak itu Indonesia milik nasion Indonesia. Namun jakarta juga kota pertama-tama yang menanggung akibat Proklamasinya. Sekutu, di sini Inggris, pemenang Perang Dunia II, kemudian juga bersama Belanda, tidak bisa melihat bangsa yang ratusan tahun jadi sumber penghisapannya bangkit merdeka jadi dirinya sendiri. Juga sisa-sisa balatentara Jepang, yang tak bisa melihat bangsa yang begitu dalam dihinakannya, bangkit merdeka, keluar dari tangsitangsinya secara liar dan menyebabkan teror. Orang-orang Indonesia yang kelaparan dan setengah kelaparan, tanpa senjata perang, melawan dan dengan demikian revolusi fisik pecah, bangsa jajahan melawan para bekas majikannya. Dua tahun revolusi berkecamuk, dan aku sendiri kemudian mendarat di penjara Bukitduri sebagai tahanan Belanda. 1947! Sebagian kerjapaksa yang ditimpakan pada kami adalah menyingkirkan kotoran peninggalan Jepang, membabati ilalang pinggir jalan, lapangan Gambir, tangsi-tangsi militer, tempat penimbunan rongsokan alat perang, dari Jatinegara sampai Tanjung Priok.

Sumber:
Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Pramoedya Ananta Toer
Lentera Dipantara

Incoming search terms:

  • peta jalan jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>